Dua hari lalu Netflix Indonesia meluncurkan film A Perfect Fit, sebuah Netflix Original yang bekerja sama dengan Starvision. Ditulis oleh Garin Nugroho dan disutradarai oleh Hadrah Daeng Ratu, film ini mengangkat romansa anak muda dengan sentuhan budaya Bali dan Makassar. Saski, seorang fashion blogger, bertemu dengan Rio si perajin sepatu yang baru saja membuka toko di Bali. Keduanya jatuh cinta di tengah keadaan yang tidak memungkinkan. Saski telah bertunangan, sementara Rio dijodohkan oleh orang tua.
Memasuki menit kelima, penonton disuguhi logat Bali yang kental oleh Nadya Arina (Saski) dan Laura Theux (Andra). Pertama mendengarnya, saya optimis film ini menawarkan sesuatu yang beda. A Perfect Fit adalah film berlogat Bali kedua — selain Sekala Niskala — yang pernah saya tonton.
Akting para aktor, baik yang muda maupun kawakan juga jempolan. Hal lain yang patut diapresiasi adalah busana yang dikenakan para pemain, khususnya Saski. Profesinya sebagai fashion blogger didukung oleh gaya berpakaian yang didominasi oleh tenun, batik, kebaya, gelang batu, dan kalung etnik. Benar-benar memperhatikan detail! Detail lainnya juga tertera pada adegan tante-tante Makassar yang sibuk dengan persiapan nikahan keponakannya. Bagi penonton yang memiliki referensi budaya yang sama, hal ini tentu menghibur.
Namun, sebagaimana tidak ada hal yang seutuhnya sempurna, terdapat beberapa hal yang luput perhatian dalam A Perfect Fit. Misalnya, Rio yang diperankan oleh Refal Hady sangat jarang menggunakan logat Makassar. Hal ini disayangkan sebab lawan mainnya totalitas menggunakan logat Bali dan Makassar. Gombalan Rio sepanjang film juga receh dan sedikit cringey. Jadi ingat Dilan. Rayuan Rio juga terasa aneh karena keluarga Saski tidak bereaksi seperti yang diperkirakan. Tempo film ini terlalu terburu-buru. Saski dan Rio jatuh cinta dalam pandangan pertama bagai kisah di negeri dongeng, adegan lamaran yang tidak terduga seperti kejutan ulang tahun, toko sepatu yang belum lama dibuka tiba-tiba saja ditutup tanpa penjelasan lebih lanjut. Alasan pertunangan Saski dan Deni (Giorgino Abraham) juga dirasa tidak kuat. Andai saja latar belakang lebih digali dan tidak memaksakan adegan yang kurang menunjang cerita tentu akan lebih baik. Toh, durasi film ini juga panjang, nyaris dua jam.
Terlepas dari kekurangan itu, A Perfect Fit patut disaksikan karena menawarkan sajian budaya Indonesia yang belum banyak diekspos. Lanskap alam Bali diiringi dua lagu latar yang dinyanyikan Laura Theux, “Arah Kaki” dan “Terbiasa Hatimu”, turut memanjakan mata dan telinga penonton.
Penulis: Nadia Almira Sagitta
Penggunaan aksen daerah menguatkan sisi budaya film ini. Sutradara juga memasukkan berbagai upacara dan tradisi sepanjang film
Penggunaan aksen daerah menguatkan sisi budaya film ini. Sutradara juga memasukkan berbagai upacara dan tradisi sepanjang film-
Budaya80/100 Very goodPerpaduan budaya Bali dan Makassar tecermin dalam bahasa yang digunakan, busana, musik, dan upacara kebudayaan sepanjang film.
-
Akting75/100 Very goodAkting para aktor, baik yang muda maupun kawakan juga jempolan.
-
Busana80/100 Very goodBusana yang dikenakan para pemain, khususnya Saski, adalah salah satu daya tarik film ini. Profesinya sebagai fashion blogger didukung oleh gaya berpakaian yang didominasi oleh tenun, batik, kebaya, gelang batu, dan kalung etnik.
-
Karakterisasi62/100 NormalRio yang diperankan oleh Refal Hady sangat jarang menggunakan logat Makassar. Hal ini disayangkan sebab lawan mainnya totalitas menggunakan logat Bali dan Makassar. Gombalan Rio sepanjang film juga receh dan sedikit cringey.
-
Cerita60/100 NormalTempo film ini terlalu terburu-buru, latar belakang kurang digali, dan ada adegan yang kurang menunjang jalan cerita.