Karena Pandemi COVID-19 dan perkembangan situasi Jakarta dan internasional, kami akan menunda ARKIPEL Twilight Zone – Festival Film Dokumenter dan Eksperimen Internasional Jakarta ke-8 hingga November 2021. Ikuti @arkipel di Instagram untuk pembaruan lebih lanjut.
Apa itu Arkipel: Zona Temaram
Tempat itu sungguhlah temaram, membiaskan pandangan. Warna alam kemerahan. Pada saat itu para arwah gentayangan amat bertenaga karena ikut bergetar bersama warna alam. Dalam tradisi di Tenggara, para orang tua menganjurkan lebih baik mereka semua menghentikan kegiatan, karena para orang tua menginsafi akan adanya kekuatan yang melampaui pemahaman mereka sebagai manusia. Mungkin mereka berpikir, belum saatnya para anak menyaksikan sesuatu yang melampaui logika, melampaui semua metode yang didapat anak-anak mereka di sekolah. Atau memang para orang tua memang takut, dan tak ingin anak-anak mereka melihatnya. Tapi kenapa?
Berabad sejak zaman pencerahan, manusia di bumi melihat sesuatu yang “tiada” sebagai takhayul, yang sama sekali tidak logis. Manusia melogikakan sesuatu yang “tiada” itu hanya terjadi di sebuah zona sempit yang kita lihat di waktu matahari nyaris tenggelam di batas horizon. Berabad mereka menyebutnya sebagai fatamorgana, sebentuk pendaran cahaya yang terjadi di zona itu dan akan memuslihatkan pandangan, hingga mata kita akan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, menjadi “seolah-olah” ada. Kemudian manusia melogikakan lihatan tersebut dengan keberadaan perhitungan cahaya, bias optikal, dan bahkan memori. Berabad lamanya keunggulan manusia dengan rasionya dikukuhkan secara sistematis melalui berbagai revolusi, kolonialisme, hingga klasifikasi kumpulan identitas dalam sistem negara-bangsa.
Maka orang tua melarang anaknya yang belum cukup umur untuk melihat “sesuatu” yang di luar logika karena dikhawatirkan akan berbenturan dengan apa yang telah mereka pelajari di sekolah atau institusi apapun dalam sistem dominan. Menjadi sub-ordinat yang berbeda adalah subversif di hadapan sistem dominan. Pilihan untuk tetap bertahan hidup dengan keyakinan lokal harus diperjuangkan dengan menjalani tradisi sub-sub kultur sambil terus menahan diri.
Di Tenggara, di mana keberadaan fata morgana hidup dan dihidupkan, justru subjektivitas dan sifat distosifnya lah yang membuat “ketiadaan” tetap relevan. Tak ada kebenaran tunggal, yang ada adalah kebenaran di lokasi tertentu dan di waktu tertentu. Sebagaimana sebuah sistem agama bekerja, yang tak kau lihat bukan berarti tak ada, kau hanya perlu percaya dan mengimaninya. Sebagaimana pula kultur sinema bekerja, yang merasukkan pengaruhnya dengan kuat ke dalam tubuh masyarakat, menyebarkan pengaruhnya ke semua aliran dalam kanal-kanal ruang budaya. Merubah peradaban dan tetap tidak bisa diklaim siapa penyebar tunggalnya, karena yang terpenting dari kesemua itu adalah penggunaan mediumnya: mata, lensa, dan layar.
Zona temaram adalah zona pembesaran, seperti kerja kamera, yang memungkinkan indera kita membingkai dengan kepekaan. Citra-citra di dalamnya, mengaburkan sekaligus memperjelas lihatan yang telah ditentukan sebelumnya. Membuat kita perlu membongkar lagi, dengan berbekal pertanyaan, yang manakah yang sesungguhnya; yang ada di layar di hadapan mata atau yang ada di hadapan lensa. Maka, dalam zona temaram, hubungan antara mata, lensa, dan layar senantiasa adalah hubungan yang memuslihatkan.
Zona temaram adalah pengetahuan yang menahan diri karena ia terpaksa hidup dalam sebuah sistem dominan. Padahal semua ini hanya persoalan bagaimana memahami cahaya, memerangkapnya dalam sebuah bingkaian dan mengubahnya menjadi kenyataan baru, yaitu kenyataan sinema. Kenyataan yang dapat dilihat sebagai pesona yang menyihir, lalu kemudian mengungkap yang “tiada” menjadi “ada”.
Info lebih lanjut klik: Arkipel.org